Setiap manusia yang hidup di atas muka bumi ini
pasti akan mati. Tiada siapa yang akan terlepas dari merasai mati. Namun
bagaimanakah cara kita mati itu hanya Allah SWT sahaja yang mengetahui-Nya.
Sama ada kita mati ketika sakit, mati kerana kemalangan dan sebagainya. Namun
apa ingin diceritakan di sini adalah mengenai detik-detik Rasulullah SAW
dijemput menghadapi sakaratul maut.
Ada sebuah kisah tentang cinta yang sebenar-benar
cinta yang dicontohkan Allah melalui kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, walaupun
langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.
Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbatas
memberikan kutbah;
“Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah
dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertaqwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua
perkara pada kalian, Al Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku,
bererti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk syurga
bersama-sama aku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata
Rasulullah yang tenang dan penuh minat menatap sahabatnya satu persatu. Abu
Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan
nafas dan tangisnya. Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah akan
meninggalkan kita semua,” keluh hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta
itu, hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan
Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah
ketika turun dari mimbar. Di saat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir
di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu. Matahari kian tinggi, tapi
pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang
terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma
yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang
berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak
mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang
membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata
sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak
tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah
lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang
menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak
dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan
sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,”
kata Rasulullah. Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri,
tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian
dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia
menyambut roh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan
Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit
telah terbuka, para malaikat telah menanti rohmu. Semua syurga terbuka lebar
menanti kedatanganmu,” kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega,
matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar khabar ini?”
Tanya Jibril lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”
“Jangan khuatir, wahai Rasul Allah, aku pernah
mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali
umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan
tugas. Perlahan roh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah
bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul
maut ini.” Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di
sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau
melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat
Penghantar Wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut
ajal,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik,
kerana sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat rasa maut ini,
timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan
Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya
bergetar seakan-akan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan
telinganya, “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku” – “Peliharalah
shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan,
sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali
kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan,
“Ummatii, ummatii, ummatiii” – “Umatku, umatku, umatku…” Dan, berakhirlah hidup
manusia mulia yang memberi sinaran itu.
@ : Betapa sayang dan cintanya Rasulullah kepada
kita, umat akhir zaman. Adakah kita juga mencintai baginda selayaknya? Ayuh,
selawat ke atas junjungan besar Rasulullah S.A.W.
No comments:
Post a Comment